Ketika Murid Tidak Kunjung Paham, Bagaimana Sikap Guru?

Ketika Murid Tidak Kunjung Paham, Bagaimana Sikap Guru?

Hal apa yang kita rasakan ketika mendapati murid kita tidak paham tentang ilmu yang kita sampaikan? Jengkel? Marah? Kecewa? Atau putus asa? Seluruh rasa negatif ini tertuju kepada siswa, bahkan tidak jarang juga tertuju kepada Allah. Rasanya ingin protes kepadaNya, “Wahai Yang Maha Membolak balikkan hati, mengapa Engkau tidak membalikkan hati siswaku ya Allah, agar mereka paham dengan apa yang aku sampaikan?” Protes ini terkadang kita sampaikan secara terang-terangan, terkadang pula sembunyi- sembunyi. Dengan mengenakan mukenah, di atas hamparan sajadah, bukannya bermesra dengan-Nya, tapi kita malah mempertanyakan tindakan-Nya, seolah kita lupa dengan kalamNya, ”Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang Dia kerjakan, tetapi merekalah (manusia) yang akan ditanya” (QS. Al-Anbiya’ 23).


Guru Sebagai Konduktor, Apa Maksudnya?
Jarang sekali kita kemudian bergegas untuk mengoreksi diri, apakah kegagalan ini ada hubungannya dengan kita? karena jangan-jangan selama ini kita sebagai ‘konduktor atau penghantar’ tidak cukup baik untuk menghantarkan energi (ilmu) yang berasal dari Allah kepada para siswa. Jangan-jangan kita yang kurang melibatkan Allah dalam proses tersebut. Saat kita berada dalam posisi ini, saat jiwa terasa tidak sehat, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Selain dengan mengalihkan sejenak pikiran dari masalah yang kita hadapi tersebut, bisa juga dengan membaca beberapa kisah yang bisa kita ambil hikmahnya. Salah satunya dengan membaca kisah para nabi (hal yang sama pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad, saat merasa sedih karena rindu kampung halaman (Makkah) dan memikirkan kaumnya (yang teraniaya oleh kafir Qurasy), beliau memilih membaca kisah Nabi Yusuf untuk menghibur hati beliau. Mengapa membaca kisah nabi-nabi menjadi alternatif? Selain karena meniru apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga karena tugas para nabi pada dasarnya adalah sama dengan tugas guru, yakni menyampaikan ilmu yang berasal dari Allah. Jadi, ada potensi kesamaan pengalaman, sehingga kita bisa mengambil hikmah darinya. Dan faktanya ada beberapa kisah tentang ‘kegagalan’ para Nabi saat berdakwah. Salah satunya adalah kisah nabi Yunus.as.

Ketika Seorang Nabi Merasa Jengkel
Nabi Yunus sempat meninggalkan kaumnya dengan perasaan marah dan kecewa karena pembangkangan yang mereka lakukan. Seruan yang awalnya dilakukan dengan lemah lembut tidak membawa hasil. Mereka tetap bergelimang kekufuran dan menolak dakwah beliau. Setelah beberapa kali mencoba untuk berdakwah, akhirnya beliau menyerah, merasa tidak ada gunanya melanjutkan dakwah kepada kaum Ninawa Maka, tanpa menunggu petunjuk dari Allah (apakah melanjutkan atau menghentikan dakwahnya), dia meninggalkan kaumnya, bertekad untuk pergi sejauh mungkin, maka dia memilih pergi dengan menaiki sebuah kapal, bergabung bersama dengan gerombongan orang lainnya. Allah tidak ‘berkenan’ dengan keputusan yang diambil oleh utusanNya itu. Allah tidak ingin Nabi Yunus semakin jauh akibat kemarahannya serta melalaikan tugas utamanya, maka Allah menegurnya dengan memberikan sebuah ‘pelajaran’ yang akan menyadarkan kembali Nabi Yunus.

Terlempar Di Tengah Laut Dalam Badai Besar

Ketika kapal sedang berlayar di samudera, tiba-tiba terjadi badai dahsyat. Para penumpang panik dan akhirnya mereka memutuskan untuk membuang barang-barang berat yang ada di perahu. Namun kapal masih belum bisa berlayar dengan seimbang, dan keputusan terakhir adalah harus ada penumpang yang dturunkan. Maka diundilah nama yang harus ‘rela’ diterjunkan ke laut. Setelah beberapa kali pengundian, Nama Yunus selalu muncul, dan akhirnya ketetapan itupun terjadi. Nabi Yunus dilemparkan ke laut. Beberapa saat setelah terlempar ke laut, seekor ikan besar atas perintah Allah segera membuka mulut, dan ‘menangkap’ tubuh nabi Yunus dan menelannya hidup-hidup. Nabi Yunus merasakan kegelapan dan kesepian serta ketakutan saat berada dalam perut ikan.

Saat Terpuruk, Umumnya Manusia Menyalahkan Keadaan Bahkan Tuhan
Dalam kemalangannya, Nabi Yunus melakukan introspeksi diri sampai akhirnya dia menyadari kesalahannya. Kejernihan nuraninya mampu menangkap hikmah dari peristiwa yang dialaminya, sebelum nafsu meniupkan prasangka buruk mendahuluinya. Jika biasanya orang yang mengalami kejadian tidak menyenangkan akan berpikir tentang ‘ketidakadilan’ Allah, maka Nabi Yunus langsung tahu bahwa semua ini bermuara dari kesalahan yang dia lakukan dalam mengemban amanah dari Allah. Maka kalimat pertama yang terlontar bukan mengapa harus aku, mengapa ini terjadi, apa salahku atau kalimat-kalimat semacamnya.


Beginilah Sikap Nabi Yunus Ketika Terjebak Di Perut Ikan
Justru kalimat yang muncul adalah: Laa ilaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadz dzalimin ‘Tiada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau (ya Allah), Mahasuci Engkau, sungguh aku termasuk orang yang berbuat zalim.’ Sebuah kalimat indah yang diabadikan dalam Al-Qur’an surat al-Anbiya 87. Dalam doa ini tidak terselip sedikit pun kata menyalahkan Allah atau mengutuk nasib yang menimpanya. Tidak ada keinginan untuk menantang atau bahkan sekadar mempertanyakan kejadian tersebut. Tidak ada juga mendikte, memohon apatah lagi mengancam agar Allah mengeluarkannya dari musibah yang dialaminya. Mendapati doa tulus dan agung yang dipanjatkan oleh Nabi Yunus, maka Allah mengganjarnya dengan kemerdekaan. Nabi Yunus tidak hanya ditakdirkan keluar dari perut ikan, tapi dia juga diantar sampai ke daratan (oleh ikan) dan diberi ‘makanan’ yang tidak hanya mengganti tenaganya yang hilang, tapi juga lezat dan bergizi, yakni Yaqthin. Menurut Ibnu Abbas, Yaqthin adalah sejenis labu. Dan puncak anugerah itu adalah fakta bahwa ketika Nabi Yunus kembali ke kaumnya di Ninawa, mereka semua telah memeluk Islam.


Tips Bagi Guru Ketika Merasa Gagal
Begitulah kisah Nabi Yunus sebagaimana yang dicantumkan dalam Al-Qur’an. Dengan membaca kisah tersebut, kita mengetahui bagaimana Nabi Yunus menyikapi kegagalan saat berdakwah. Yang akhirnya bukan hanya bisa menghapus rasa kecewa, marah dan putus asa, tapi justru pada akhirnya mendapatkan kemenangan dan kedamaian yang menyelimuti
jiwanya. Dari kisah Nabi Yunus ini, kita mendapatkan hikmah betapa pentingnya kita untuk meraba diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain atau sebelum ber-suudzhon kepada Allah, Sang pembuat taqdir yang Maha Bijaksana. “Aku adalah seperti prasangka hamba-Ku, maka berprasangka baiklah.” Itu adalah sebuah pesan yang harus kita ingat, harus selalu kita soundingkan, bukan hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada diri sendiri. Dengan demikian, ketika kita menyampaikan pembelajaran di sekolah -dalam proses maupun hasilnya- senantiasa libatkan Allah. Maka tidak ada lagi ceritanya menyesal, jengkel atau marah saat mendapati siswa kita belum sesuai dengan harapan kita. Cukuplah kita tersenyum, ambil nafas panjang dan hembuskan perlahan sambil mengucap Laa Ilaha illa anta, subhanaka innii kuntu minadz dzolimiin.

Penulis: Fitriya Zulianik, MA, guru SMK Al Irsyad Surabaya.
Editor: Oki Aryono

Previous MPLS Cerdas Berkarakter dengan Mengadopsi Persaudaraan Muhajirin-Anshar

Yayasan Perguruan Al-Irsyad Surabaya